/ateonsoft_tab.js' type='text/javascript'/>
Ceris Institute

Community Empowerment, Research, Implementation and Survey

Minggu, 14 Juni 2015

Menggagas Legalitas Pengelolaan Dana Bergulir PNPM Mandiri Perdesaan Paska Program

Pendahuluan

Perjalanan panjang program pemberdayaan masyarakat yang digulirkan pemerintah dengan nama PPK yang dilakukan sejak tahun 1988  sampai dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan), telah mewariskan tiga hal yang sangat berharga yakni; Sistem, Kelembagaan dan Asset.  Sistem yang diimplementasikan program PNPM Mandiri Perdesaan, diakui sebagai sebuah model yang baik oleh berbagai pihak,  begitu pula menyangkut keberadaan kelembagaan lokal bentukan program (TPK, TPU, TP3, BKAD, UPK, Tim Verifikasi, BP-UPK,dll) serta lahirnya kader-kader pelaku pemberdayaan (KPMD, Kader Teknik, Pendamping Lokal, Tim Monitoring dll)  dipandang telah mampu mendorong partisipasi masyarakat secara aktif serta mampu mentransformasikan model pemberdayaan dan mentransfer pengetahuan kepada Masyarakat.
Dampak open menu pilihan kegiatan oleh masyarakat telah melahirkan sejumlah asset yang sangat berharga berupa asset sarana prasarana yang dibangun, asset sumberdaya manusia pelaku PNPM Mandiri Perdesaan, asset sumberdaya masyarakat yang dilatih dan telah dikuatkan kapasitasnya, serta asset modal usaha dana bergulir dalam skema UEP maupun SPP yang sangat besar dimana saat ini asset gabungan UEP dan SPP seluruh Indonesia mencapai 10,5 triliun rupiah lebih (Status 31 Desember 2014).

Seiring dengan berakhirnya pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di tahun 2014, kesadaran akan pentingnya pelestarian hasil program (Sistem, Kelembagaan, Asset), alih kelola, kejelasan atas status kepemilikan asset  dan pengembangan model pengelolaan kedepan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak dan menjadi issue strategis.  Terkait pentingnya aspek-aspek tersebut diatas, maka ada3 (tiga) unsur yang harus terlibat dalam persoalan ini yakni, Masyarakat itu sendiri, Lembaga-lembaga yang menerima mandat mengelola asset dan Pemerintahan Lokal.  Peran Pemerintah Lokal sangat strategis dalam menjalankan fungsi pembinaan dan penerbitan payung/badan hukum dalam bentuk regulasi yang menjamin pelestarian dan pengembangan.

Dalam kaitan pelestarian dan pemanfaatan permodalan masyarakat melalui PNPM MPd selaras dengan perwujudan dua Visi Nawa Cita ( 9 agenda prioritas pembangunan ) Kabinet Kerja Jokowi-JK yaitu Visi Ketiga Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dan  Visi Ketujuh yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan jalan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik strategis khususnya pada lokasi perdesaan membutuhkan perangkat kebijakan lanjutan program.

Pentingnya Pelestarian Asset Hasil PNPM-MPd

Pengelolaan kegiatan PNPM-MPd harus dijamin dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan (sustainable).  Disamping manfaat dari hasil kegiatan, maka aspek pemberdayaan, system dan proses perencanaan, aspek good governance, serta prinsip-prinsip PNPM-MPd harus mampu memberi dampak perubahan positif dan berkelanjutan bagi masyarakat.  Untuk dapat mencapai hal itu maka semua pelaku PNPM-MPd di masing-masing tingkatan harus mengetahui dan mampu memahami latar belakang dan dasar pemikiran, prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur, dan mekanisme PNPM-MPd secara benar.

Hasil-hasil kegiatan PNPM-MPd yang berupa prasarana, modal usaha ekonomi produktif, simpan pinjam, kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan, merupakan asset bagi masyarakat yang harus dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan.  Pelestarian kegiatan merupakan tahapan pasca pelaksanaan yang dikelola dan merupakan tanggung jawab masyarakat.  Namun demikian dalam melakukan tahapan pelestarian, masyarakat tetap berdasarkan atas prinsip PNPM-MPd.  Hasil yang diharapkan dari upaya pelestarian kegiatan adalah :
  1. Kelanjutan proses dan penerapan prinsip-prinsip PNPM-MPd dalam pelaksanaan pembangunan;
  2. Menjamin berfungsinya secara berkelanjutan prasarana/sarana yang telah dibangun, kegiatan yang menunjang kualitas hidup masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, serta pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif dan simpan pinjam dengan kemampuan masyarakat sendiri;
  3. Tersedianya dana bergulir dan kelembagaanKEUANGAN yang mudah dijangkau oleh masyarakat, khususnya masyarakat miskin;
  4. Menjamin kelanjutan sistem dan mekanisme pengelolaan dana masyarakat;
  5. Meningkatkan berfungsinya kelembagaan masyarakat di desa dan kecamatan dalam pengelolaan program;
  6. Menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.

Dasar-dasar dalam rangka mewujudkan pelestarian kegiatan dana bergulir adalah :
  1. Adanya dana kegiatan SPP yang produktif dan bertambah jumlahnya untuk penyediaan kebutuhan pendanaan masyarakat miskin;
  2. Adanya pelestarian prinsip PNPM Mandiri – Perdesaan terutama keberpihakan kepada orang miskin dan transparansi;
  3. Penguatan kelembagaan baik dalam aspek permodalan ataupun kelembagaan kelompok;
  4. Pengembangan layanan kepada masyarakat;
  5. Pengembangan permodalan.

Penyelamatan Asset Dana Bergulir Hasil PNPM-MPd

Yang dimaksud dengan penyelamatan asset dana bergulir hasil PNPM Mandiri Perdesaan adalah bagaimana pengelolaan dana bergulir tidak meninggalkan ruh, semangat, esensi dan ghirah pemberdayaan masyarakat, terus bermanfaat bagi masyarakat (terutama masyarakat miskin), dan modalnya berkembang. Dengan berakhirnya PNPM-MPd maka payung program selama ini melalui PTO dan SK Bupati (per tahun anggaran) menjadi tidak ada lagi sehingga kelembagaan pengelolaan dana bergulir  harus  dicarikan “chantolan” hukumnya. Untuk itu perlu kejelasan tentang status kepemilikan asset, kelembagaan dan pilihan payung hukum atau badan hukum yang tepat.

Status Kepemilikan Asset


Asset dana bergulir PNPM Mandiri Perdesaan merupakan dana Bansos dari Pemerintah Pusat/APBN melalui DIPA Urusan Bersama (UB) Pemerintah Kabupaten. Sebagai dana Bansos maka dana bergulir PNPM-MPd sudah menjadi milik penerima hibah, dalam hal ini masyarakat kecamatan penerima bantuan. Isue yang berkembang bahwa Pemerintah akan menarik dana bergulir ini adalah tidak benar dan tidak memungkinkan.

Status Kelembagaan


Menggagas format kelembagaan dana bergulir PNPM-MPd tidak bisa lepas dari struktur kelembagaan antar desa itu sendiri yang selama ini sudah berjalan di program. Kebijakan kelembagaan dalam PNPM-MPd terhadap BKAD merupakan kelembagaan tertinggi dalam pelaksanaan yang berfungsi sebagai representasi kepemilikan asset. Forum MAD merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis atau kebijakan local dalam pelaksanaan PNPM-MPd.

Dengan adanya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa maka penyebutan BKAD dalam UU tersebut (Pasal 92 ayat 3 dan 6, Penjelasan Pasal 87 ayat 1) mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sesuai perundangan yang ada, UPK sebagai pelaksana mandat BKAD dalam pengelolaan dana bergulir maka secara otomatis telah mempunyai payung hukum yang kuat. BKAD secara kelembagaan program telah mempunyai legitimasi dari masyarakat melalui MAD sehingga BKAD telah mempunyai legalitas dan legitimasi dalam pengelolaan program.

Berdasarkan hal tersebut, perlu langkah fasilitasi restrukturisasi BKAD agar sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku dengan cara:
  • Memastikan isi peraturan bersama Kepala Desa tentang kerjasama antar Desa dan pembentukan BKAD memuat ketentuan tentang kepemilikan bersama permodalan masyarakat, kegiatan permodalan masyarakat, dan pengelola permodalan masyarakat;
  • Memastikan pembentukan Badan Kerjasama Antar Desa telah dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa yang memuat ruang lingkup kerjasama, bidang kerjasama, tata cara dan ketentuan pelaksanaan kerjasama, mekanisme pengambilan keputusan, jangka waktu, hak dan kewajiban, pendanaan, penyelesaian perselisihan,jenis, jumlah asset yang dikerjasamakan;
  • Memastikan bahwa desa-desa yang melakukan kerjasama dalam musyawarah antar desa telah memenuhi unsur keterwakilan masyarakat desa yang melakukan kerjasama yang terdiri dari pemerintah Desa, anggota BPD, lembaga kemasyarakatan, lembaga lain yang ada di Desa dan tokoh masyarakat dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan yang diputuskan dalam Musyawarah Desa serta disahkan dengan Surat Keputusan Kepala Desa;
  • Memastikan bahwa Peraturan Bersama Kepala Desa yang disepakati dalam MAD telah diratifikasi oleh masing-masing desa yang melakukan kerjasama melalui Peraturan Desa dan mengundangkannya dalam Berita Desa masing-masing;
  • Kesepakatan kerjasama beserta AD/ART BKAD dikuatkan melalui akta atau legalisasi notaris dan didaftarkan di pengadilan negeri setempat;
  • Memastikan pemberian mandat BKAD melalui MAD kepada lembaga/unittelah dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
  • Memastikan tata kelola organisasi dan pengelolaan permodalan masyarakatyang tertuang dalam standar operasional dan prosedur (SOP) telah mengacu pada Penjelasan PTO T.A 2014;

Payung Hukum atau Badan Hukum

Dalam rangka meningkatkan akses pendanaan masyarakat miskin, dalam praktik tumbuh dan berkembanglah lembagaKEUANGAN mikro yang belum berbadan hukum, baik yang didirikan oleh masyarakat maupun terkait dengan program pemerintah.
Permodalan dari LKM yang didirikan terkait dengan program pemerintah (termasuk pemda) berasal dari APBN dan/atau APBD dalam bentuk :

Penyertaan Modal
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah merupakan salah satu bentuk investasi (Investasi langsung) oleh Pemerintah Daerah yang digunakan untuk membiayai kegiatan usaha.

Hibah / Bantuan Sosial
Hibah/Bansos merupakan bantuan berupa uang, barang, dan / jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang tidak mengikat.
Kebingungan para pelaku terhadap bagaimana pengelolaan dana bergulir hasil PNPM-MPd paska program disebabkan adanya UU baru dan beberapa surat edaran, antara lain :
  • UU No.1 Tahun 2013 tentang LembagaKEUANGAN Mikro (LKM) yang mengatur pengelolaan dana bergulir non bank;
  • Surat Kemenkokesra tanggal 31 Januari 2014 yang “mengharuskan” pengelola dana bergulir PNPM Mandiri membentuk badan hukum dengan pilihan Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi atau Perkumpulan Berbadan Hukum (PBH);
  • UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur tentang hak asal usul desa termasuk didalamnya kepemilikan asset dana bergulir masyarakat diatasnamakan sebagai asset Desa;
  • Statemen Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi di beberapa media tentang rencana Pemerintah akan menarik asset dana bergulir PNPM-MPd. Walau statemen ini kemudian dianulir namun sempat membuat heboh para pelaku PNPM-MPd.
Terlepas dari hiruk pikuk pembahasan tentang pemilihan badan hukum pengelolaan dana bergulir paska program, ada dua pertimbangan utama yang harus menjadi perhatian, yaitu apa perbedaan mendasar dan apa yang harus dipertahankan. Perbedaan mendasar menyangkut pola kepemilikan usaha dan pemanfaatannya, pola pengelolaan, perolehan sumber modal, pola pengambilan keputusan, penggunaan dan pengelolaan jasa usaha, dan segmen pasar. Dari perbedaan mendasar bentuk badan hukum tersebut maka yang dipilih adalah yang roh/prinsip PNPM-MPd masih tetap bisa  dipertahankan. Apa itu prinsip/roh PNPM-MPd yang harus tetap dipertanahankan? Transparansi, akuntabilitas, pengambilan keputusan oleh masyarakat, keberpihakan kepada orang miskin, dll.

Mengacu kepada beberapa perbandingan dan aspek-aspek yang dikaji antara pola aktifitas pelayanan dan pengelolaan kegiatan pengelolaan dana bergulir oleh UPK dan ketentuan-ketentuan tentang LKM sebagamana Undang-undang nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM dan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, maka alternative pengelolaan dana bergulir paska PNPM-MPd sebagai berikut :

Apa adanya seperti sekarang

Idealnya memang pengelolaan dana bergulir hasil PNPM-MPd paska program dikelola seperti apa adanya yang sudah berjalan selama ini. Namun hal seperti itu tidak memungkinkan mengingat paska program regulasi selama ini yang memayungi (Surat Edaran Kemendagri, PTO) secara formal sudah tidak berlaku lagi. Bisa saja kemudian dilakukan upaya pengusulan regulasi baru (baca : Undang-Undang) khusus tentang pengelolaan dana bergulir hasil PNPM-MPd. Namun penerbitan undang-undang baru bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Apalagi saat ini sudah ada UU No.1 Th. 2013 tentang LKM yang mengatur tentang dana bergulir non bank secara umum. Sebagai gambaran, RUU tentang LKM memerlukan waktu lebih dari 10 tahun sampai menjadi UU.

Judicial Review UU LKM

Dalam UU No.1 Tahun 2013 tentang LKM disebutkan tentang perlakuan khusus terhadap 2 (dua) model pengelolaan dana bergulir yang ada di masyarakat yang bebas dari ketentuan UU LKM ini, artinya tetap bisa berjalan tanpa harus terikat dengan ketentuan harus berbadan hukum. Dua lembaga pengelola dana bergulir dimaksud adalah Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. Sangat disayangkan kenapa saat pembahasan RUU LKM dulu tidak ada advokasi dari para pelaku PNPM-MPd Pusat sehingga UPK bisa masuk juga sebagai lembaga pengelola dana bergulir yang di-“istimewakan” seperti Lumbung Pitih Nagari dan LPD, toh UPK ada di seluruh desa dan mengelola dana yang sangat besar.

Upaya yang memungkinkan saat ini namun peluang berhasilnya kecil adalah mengajukan judicial review  terhadap UU No.1 Tahun 2013 tentang LKM ke Mahkamah dengan tuntutan agar memasukkan UPK menjadi salah satu lembaga pengelola dana bergulir khusus seperti Lumbung Pitih Nagari dan LPD. Kenapa peluang berhasilnya kecil? Karena Lumbung Pitih Nagari dan LPD dijalankan  berdasarkan adat sedangkan UPK tidak.

BUMDesa Bersama (BUMADes)

Pengelolaan dana bergulir hasil PNPM-MPd diwadahi dalam kerangka kerjasama antar desa. Walaupun selama ini dana PNPM-MPd disebutkan sebagai milik masyarakat se kecamatan namun karena masyarakat bukan subyek hukum maka Pemerintah Desa bertindak atas nama masyarakat sebagai subyek hukum dalam kerjasama antar desa ini yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa. UU Desa (Pasal 92) memberikan ruang bahwa desa dapat bekerjasama dengan desa lainnya atau pihak ketiga. Kerja sama antar desa tersebut meliputi, pengembangan usaha bersama yang dimiliki desa, kemasyarakatan dan pelayanan, keamanan dan ketertiban. Pengambilan keputusan tentang pelaksanaan kerjasama antar desa dilakukan dalam forum Musyawarah Antar Desa (MAD). Pelaksana kerjasama antar desa adalah Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. Dalam menjalankan kerjasama dimaksud, BKAD dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti pengelolaan dana bergulir.

Untuk itu, dana bergulir tersebut, dibagi secara merata kepada seluruh desa dalam satu wilayah kecamatan, dengan ketentuan bahwa pembagian dimaksud hanya untuk keperluan pencatatan sebagai aset/milik desa. Dengan demikian, tidak ada proses pembagian dana secara fisik, atau tidak ada proses transfer dana dari rekening UPK ke desa. Dana bergulir yang telah dicatatkan sebagai aset desa, wajib diserahkan pengelolaannya kepada Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) melalui Berita Acara oleh setiap desa.  Dalam rangka pengembangan usaha antar desa, dana bergulir dapat dijadikan modal untuk pembentukan BUM Desa dan atau BUM Antar Desa yang merupakan milik desa-desa dalam satu wilayah kecamatan.

Sesuai Peraturan Menteri Desa No.4 Tahun 2015, BUM Desa dapat membentuk unit usaha meliputi : (1)  Perseroan  Terbatas  sebagai  persekutuan  modal,  dibentuk    berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUM Desa, sesuai dengan peraturan perundang- undangan tentang Perseroan Terbatas; dan (2)  Lembaga KEUANGAN  Mikro  dengan  andil  BUM  Desa  sebesar  60  (enam puluh)  persen,  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan  tentang lembaga keuangan mikro.

Penutup

Langkah pertama yang harus dilakukan kelembagaan adalah melakukan inventarisasi asset untuk memperjelas status dan keberadaan asset dana bergulir hasil PNPM-MPd. Langkah berikutnya adalah memperjelas status kelembagaan dan status pengelolaan dana bergulirnya secara hukum. Langkah ini perlu dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan ruh, semangat, esensi dan ghirah pemberdayaan masyarakat yang dipraktekkan PNPM-MPd selama ini.Peran pemerintah menjadi sangat penting untuk memfasilitasi langkah-langkah tersebut.

Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru  pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Pengakuan Atas Desa

Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:
  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;
  8. Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;
  9. Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas  memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal  berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa

UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa.  UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa

Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanyaBISNIS proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.
Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya,  desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.
Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa

Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara lain:
  1. sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
  2. Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
  3. Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.
  4. Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
  5. Penerapan Sistem Informasi Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
  6. Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
  7. Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi