/ateonsoft_tab.js' type='text/javascript'/>
Ceris Institute

Community Empowerment, Research, Implementation and Survey

Minggu, 24 Mei 2015

Pendamping Desa

Mulai April 2015, aparat desa yang telah siap dengan rencana program yang terverifikasi lengkap bisa mencairkan dana untuk membiayai proyek tertentu dengan dana Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 1,4 miliar per desa. Karena administrasi dan manajemen ADD lebih kompleks ketimbang manajemen pembangunan desa rutin selama ini maka pemerintah mendisain agar pengelolaan ADD memerlukan pendampingan.
Tenaga pendamping memiliki tugas membantu aparat desa pada tahapan perencanaan, pengadministrasian, pelaksanaan, pengawasan/pemantauan. Semua tahapan pengelolaan ADD harus tertulis atau terekam secara sistematis, sahih, baik untuk periode tertentu. Satu bagian saja mata rantai itu ‘salah urus’ maka bisa memengaruhi efektivitas pembangunan desa. Bahkan mungkin bisa menggagalkan proses pembangunan desa yang didanai oleh ADD.
Pendamping desa dipersiapkan untuk membantu proses penguatan pembangunan desa menuju ke arah kemandirian berdasar potensi yang dimiliki desa/masyarakat. Pendamping adalah SDM bukan aparat desa dan berada di luar struktur pemerintahan desa. Pendamping desa harus memiliki kualifikasi tertentu untuk melakukan proses pengelolaan ADD.
Pendamping bersama aparat desa dan warga desa sama-sama belajar dan bekerja mengelola ADD. Pendamping hadir tidak untuk menggurui aparat desa dan warga desa, karena pendamping sejajar dengan warga desa, namun dengan tupoksi khusus. Interaksi sesama aparat desa, pendamping dana desa, warga desa harus positip agar melalui ADD desa bisa mengalami perubahan.
Dalam mengelolala ADD, Kemendes menyiapkan pendamping kemasyarakatan dan pendamping infrastruktur pada tiap desa penerima ADD. Pendamping pemberdayaan mempersyaratkan minimal pendidikan DIII hingga S1 berbagai jurusan keilmuan. Pendamping infrastruktur berpendidikan DIII hingga S1 teknik sipil. Kedua jenis tenaga pendamping yang dibutuhkan juga dipersyaratkan harus berpengalaman di bidangnya.
Terus terang, persyaratan pengalaman ini bisa menyulitkan bagi Kemendes sebagai perekrut calon pendamping desa yang handal dan mau mengabdi sebagai pendamping desa. Sarjana banyak, jadi calon pendamping pun banyak apalagi aplikasi pencalonan secara on line. Salah satu kendala mungkin adalah, kualifikasi pengalaman kerja dari para calon. Saat ini banyak tenaga terdidik lulusan perguruan tinggi bekerja di bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi kesarjanaan/pendidikan formal mereka.
Tahun 2015 adalah tahun pertama pendampingan berbagai proyek di desa dengan dana ADD. Tenaga pendamping desa yang direkrut adalah calon pendamping yang memiliki motivasi, semangat untuk memotivasi warga desa. Yakni, calon yang memiliki integritas agar proyek desa bisa berjalan sesuai perencanaan, tidak terjadi penyimpangan. Untuk memperoleh calon seperti itu maka petugas rekrutmen sebaiknya adalah psikolog, serta pegawai negeri dari Kemendes atau jika bisa mendapat tenaga bantuan PNS asal kementerian lain yang bertindak sebagai asesor.
Masalahnya, jumlah tenaga yang dibutuhkan sebagai pendamping desa amat besar, sekitar 73.000 orang. Kemendes harus menghindari intervensi pejabat pememda, kecamatan, aparat desa dalam proses rekrutmen, misalnya menitipkan calon tertentu untuk lulus sebagai pendamping desa. Kemendes harus disiplin, transparan dan obyektif untuk memperoleh calon yang handal termotivasi bekerja sebagai pendamping di desa, dedikatif, punya integritas Jangan sampai unsur nepotisme bercampuraduk dalam proses rekrutmen. Bisa berantakan bahkan gagal tujuan ADD.
Calon yang berhasil dalam tes biasanya wajib mengikuti diklat setidaknya selama dua minggu untuk memperoleh materi teknis terkait proyek/kegiatan dengan dana Add, serta pembinaan mental peserta untuk siap sebagai pendamping desa yang handal. Sekali lagi, pengalaman calon yang tidak terkait pemberdayaan warga desa kurang aplikable untuk menjadi persyaratan dalam menentukan lulus tidaknya calon menjadi pendamping desa.
Peran pendamping dalam berbagai program pemerintah memiliki substansi yang kurang lebih sama. Pendamping desa adalah pembimbing atas kegiatan spesifik tertentu dengan tugas utama membantu masyarakat untuk memutuskan tindakan yang bermanfaat bagi warga desa. Pendamping perlu memberikan banyak informasi buat warga, agar memiliki pengetahuan yang memadai untuk memilih dan menetapkan tindakan tepat menyelesaikan masalah mereka.
Sebagai enabler, dengan kemampuan fasilitasinya, pendamping mendorong masyarakat untuk mengenali potensi, kebutuhan dan masalah di lingkungan mereka. Tugas ini menjadi begitu penting karena hal ini adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada peningkatan pemberdayaan warga desa, di mana warga sendiri adalah narasumber. Ketrampilan fasilitasi dan komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
Pendamping berperan sebagai seorang ahli, di mana dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki melalui pendidikan formal, pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus maka pendamping mampu memberikan masukan teknis atas suatu kegiatan/proyek yang didanai ADD. Aparat desa dan warga desa jangan berpandangan ‘miring’ seakan pendamping mendikte mereka. Masukan pendamping tentu berdasar atas fakta di lapangan, juga hasil berbagai diskusi, perbincangan dengan aparat desa dan warga.
Akhirnya, kehadiran pendamping desa harus dilihat sebagai aliran ‘darah segar’ dalam proses pembangunan desa. Semua keputusan terbaik dalam mewujudkan kegiatan/proyek di desa dengan ADD adalah hasil musyawarah bersama aparat desa, warga dan pendamping. Pendamping hadir dalam kebersamaan dengan aparat desa dan warga agar bisa memandirikan desa bersangkutan. Idealnya, pendamping desa mampu memandirikan warga desa untuk mengambil keputusan yang objektif dan bermanfaat bagi kepentingan desa. ***
Sumber : Suara Karya
Penulis adalah alumnus S3 UNJ, widyaiswara utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Jakarta.

Rabu, 20 Mei 2015

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ekonomi Syariah

 Oleh:  Islah Milono Pegiat Ekonomi Syariah/ Supporting Mitra Microfinance Jakarta 

Terhitung sejak November 2014 hingga April 2015, Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menjadi satu dari tiga kota yang menjadi pilot (percontohan) pelaksanaan program Keuangan Mikro Syariah PNPM Mandiri Perkotaan. Dua kota lainnya adalah Tangerang di Provinsi Banten dan Bogor di Jawa Barat. Dipilihnya Kota Pariaman selain dua kota di atas bisa jadi merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Kenapa tidak kota lainnya semisal Bukittinggi atau Kota Padang? Kita menyimpulkan bahwa penunjukkan Kota Pariaman Bisa jadi karena kota ini merupakan daerah dengan penduduk 100% Muslim.

Ada lima desa yang dijadikan titik kegiatan Program Keuangan Mikro Syariah (KMS) ini, yakni Desa Balai Naras, Naras Satu, Cubadak Air Selatan (CAS), Sikapak Timur (SKT) dan Sikapak Barat (SKB). Lima desa tersebut adalah wilayah PPMK yang mana dalam siklus Transformasi Sosial PNPM adalah tahapan ketiga setelah masyarakat miskin, kemudian masyarakat berdaya, masyarakat Mandiri (PPMK) untuk kemudian menuju tahap keempat, yakni masyarakat madani.

Fokus dari program KMS ini adalah penerapan dan konversi pemberdayaan bidang ekonomi yang sudah dilakukan melalui Unit Pengelola Keuangan (UPK) pada 5 desa UPK dari yang menggunakan pola konvensional hijrah menjadi pola syariah, ada tiga personal Tenaga Ahli KMS yang mengawal dan memandu perjalanan program ini langsung dari Jakarta.

Asbabun Nuzul

Hal yang melatarbelakangi dilaksanakan program Keuangan Mikro Syariah (KMS) dalam program PNPM di sini adalah bahwa pengelolaan UPK oleh kenyataan dan fakta lapangan bahwa pembiayaan pola konvensional memberikan capaian pembiayaan bermasalah yang cukup mengkhawatirkan. Ketika hal ini dirunut lebih jauh, ditemukan adanya “gagal paham” di masyarakat bahwa dana pinjaman melalui PNPM tidak dikembalikan juga tidak apa-apa.

Fakta selanjutnya adalah bahwa adanya dana mengendap (idle)—yang seharusnya tersalurkan, cukup besar secara keseluruhan untuk wilayah Sumbar, yang mencapai angka sekira Rp8 miliar, lebih disebabkan kekhawatiran UPK-UPK yang tidak berani menyalurkan kepada masyarakat, khawatir bermasalah, tidak kembali dan macet. Jika ini dibiarkan, maka akan muncul anggapan bahwa pengendapan dana ini jelas bukan rapor yang sehat untuk sebuah perputaran lembaga keuangan Mikro. Besarnya dana mengendap bisa juga dijadikan penilaian tidak dapat tersalurkannya ke masyarakat bawah dan itu berarti program bisa dianggap kurang berhasil, anggapan ini jangan sampai terjadi.

Atas dasar itulah penerapan KMS dengan memakai pola kelompok/Grameen dan tanggung renteng pada pengelolaan UPK di PNPM Mandiri Perkotaan, setelah melihat hasil pelaksanaan di beberapa tempat, sudah berjalan secara baik dan signifikan memberikan pemberdayaan. Baik itu yang di Bogor (Koperasi Baytul Ikhtiar), Sentul (Tazkia) dan Bekasi (Koperasi Pro Ibu), Bintara Jakarta, maupun BMT Al Islah Karangkobar Banjarnegara, Jawa Tengah. Satu hal yang fenomenal menurut kami adalah konsep kelompok ini berhasil menekan tingkat pembiayaan bermasalah sampai di bawah angka 1% (nol koma sekian).

Di sisi lain memang penerapan KMS ini membutuhkan tenaga lapangan yang memiliki bekal sosial keagamaan yang cukup. Serta mampu mentransfer dan mengomunikasikan ide, gagasan dan pengetahuan yang dimiliki sebagai tujuan dari pemberdayaan ekonomi mikro dan usaha kelompok berbasis syariah.

Alur dan Ruh KMS 

Secara garis besar alur pelaksanaan dari KMS ini adalah inisiasi, sosialisasi, Uji kelayakan (UK), pembentukan kelompok (majelis), pelaksanaan Pelatihan Wajib Kelompok (PWK) dan pengajuan usaha, Pertemuan Mingguan (Perming). Kali ini kami tidak akan membahas semua tahapan secara detail dalam KMS, karena bisa jadi itu mirip dengan alur pemberdayaan PNPM pada umumnya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah kalaupun mirip dengan tahapan PNPM pada umunya kenapa hasil akhirnya berbeda signifikan?

Dalam KMS proses dan alur di atas benar-benar dilaksanakan sebagai sebuah proses belajar terus-menerus akan komitmen. Dilandasi sebagai sesuatu yang bernilai ibadah, disertai prinsip-prinsip utama kehidupan seperti kejujuran, amanah, komitmen, ikhlas, menepati janji, latihan disiplin, belajar simpati dan empati, belajar mendahulukan kepentingan yang lebih utama, belajar bekerja sama, tolong menolong, saling membutuhkan sebagai sebuah jamaah/kelompok. Sehingga, mulai ada pemahaman awal bahwa menjalankan pola KMS ini bagian dari ibadah, dalam bertransaksi urusan ekonomi adalah bagian dari menegakkan aturan/hukum/syariat Allah, SWT. Menjalankan ekonomi halal dan membuang jauh-jauh praktik ekonomi ribawi.

Pemahaman penting dalam ekonomi syariah sebagai mesin utama dari KMS adalah persoalan larangan riba yang termaktub dalam Qur’an surah Al Baqoroh: 275, "Dan Allah SWT telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba".

Dalam hadis, Rasulullah Muhammad, SAW melaknat pemakan riba. Orang yang memberi makan dari hasil riba, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya, beliau bersabda, mereka semua sama (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, “Riba itu ada tujuh puluh tiga macam, yang paling ringan ialah seperti seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Dan riba yang paling berat ialah mencemarkan kehormatan seorang Muslim” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara ringkas, dan oleh Al-Hakim dengan utuh dan ia menilai hadist ini shahih).

Penanaman dan penguatan keyakinan aspek dasar Dienul Islam mencakup akidah, syariah, akhlak dan ibadah dalam proses alur di atas, terutama pada waktu PWK selama 5 hari berturut-turut, selama 1 jam setiap pertemuan, adalah semacam “Pesantren Kilat” bagi calon pemanfaat yang dalam hal ini kebanyakan adalah ibu-ibu warga PS-2. Kemudian dikuatkan lagi melalui Perming, yang secara sadar dan sederhana memberikan kesadaran, membentuk attitude (perilaku) baru, mengembalikan fitrah al insan kepada nilai-nilai utama kehidupan, menguatkan faith (keyakinan) bahwa apa yang kita kerjakan di dunia ini selalu dalam pantauan dan penilaian maupun catatan Allah, SWT.
Penegasan sebuah keyakinan (rukun iman) bahwa pilihan akhir sebagai al insan secara fitroh adalah apakah memilih surga atau neraka sebagai sebuah tujuan hidup? Sebuah penguatan nilai-nilai energi ruhiyah yang positif adanya. Al hasil, setelah calon pemanfaat ini dipersiapkan secara mental dan ruhiyah, maka keyakinan dalam mengelola usaha, dalam bertransaksi senantiasa memiliki kesadaran untuk selalu berada di jalan yang benar. Bahwa bekerja, melaksanakan transaksi ekonomi sesuai aturan syariat Islam adalah bagian dari belajar yang bernilai ibadah. Bahwa mencari dan memakan rejeki yang halal dan thoyib saja. Menepati janji, disiplin menghargai waktu. Menjauhi atau tidak mengambil rejeki yang bukan miliknya adalah juga bagian dari menjalankan ibadah yang ada tuntunan dan ketentuannya di Qur’an dan sunah. Selama ini kadang umat terjebak pada formalitas ritual ibadah, seolah ibadah itu terkotak hanya pada sholat, zakat, puasa dan haji.

Maka setelah berjalan selama hampir enam bulan, dengan pencairan dana usaha bergulir mulai akhir Desember 2014, diperoleh statistik sebagai berikut: 

Statistik Pengelolaan Keuangan Mikro Syariah (KMS) Kota Pariaman, 14 April 2015.

No Nama KSM L P Desa Droping (Rp) Tempo Margin 
1Sehati
20BL NARAS20.000.00050 Pekan3.000.000
2Arai Pinang
25NARAS – 151.000.00050 Pekan9.750.000
3Melati
20CUB AIR SEL (CAS)69.000.00050 Pekan10.350.000
4Dahlia
15SKP BARAT32.000.00050 Pekan*2.850.000
5Gandang Tasa119SKP TIMUR56.000.00050 Pekan7.575.000
6Bungo Tanjung
15NARAS - 118.000.00050 Pekan3.050.000
7Bungo Rayo Putih
15CUB AIR SEL (CAS)38.000.00050 Pekan4.900.000
8Bungo Rampai  15  NARAS -128.000.000  50 pekan3.000.000*  


1139
322.000.000
36.578.000
*) Data sampai dengan 14April 2015 support Sub TA KMS Kota Pariaman

Ada beberapa catatan penting yang perlu kami sampaikan bahwa, sampai dengan Pekan kedua bulan April 2015, belum ada pembiayaan bermasalah, menunggak atau macet alias tingkat pembiayaan bermasalah masih 0%. Semangat menghadiri pertemuan mingguan sebagai media silaturahmi menjadi kuat. Memang awalnya, memasuki pekan ke-5 sampai pekan ke-8 muncul keengganan, terlambat hadir, malas, menganggap tidak penting. Namun pertemuan Perming merupakan ajang strategis penguatan kelompok/majelis. Kebersamaan dan rasa tolong menolong , peduli dengan sesama anggota semakin baik. Nilai-nilai inilah yang sekali lagi menjadi ruh dari Pemberdayaan Ekonomi Syariah.

Memang secara umum program KMS ini belum bisa dikatakan sukses. Akan tetapi munculnya nilai-nilai positif, terbentuknya budaya positif, ditambah semangat warga masyarakat yang tumbuh dari bawah maka tidak bisa kita menutup mata. Bahwa hal-hal di atas adalah pondasi utama sebuah keberhasilan. Ruh Inilah yang membedakan dengan pola konvensional pada umumnya.

What Next? 
Setelah semua berjalan hampir 6 bulan, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, personel Tenaga Ahli KMS Jakarta akan selesai dan ditarik. Lantas bagaimana kelanjutan program KMS ini selanjutnya? Apakah akan bernasib sama dengan kebanyakan program yang pernah ada, selesai begitu saja, padam cahaya laksana lilin menerangi sesaat? Tindak lanjut apa yang perlu dilakukan?
Bola kelanjutan KMS ini selanjutnya berada di Korkot PNPM Mandiri Perkotaan/P2KP Kota Pariaman beserta seluruh Fasilitator Ekonomi – KMS, bekerja sama dengan Pemkot Pariaman. Menurut catatan kami, tindak lanjut KMS dengan ide cerdas “Federasi UPK Syariah” menjadi sebuah badan hukum tetap, yang mampu menjadi lembaga keuangan syariah berbasis komunitas/kelompok/jamaah, patut diserukan agar bisa terealisasi. Atau bisa saja Pemkot Pariaman menindaklanjutinya dengan payung Perda yang lebih mengedepankan pembelaan bagi ekonomi rakyat kecil dan mikro.

Dalam hal ini paling tidak ada tiga hal sederhana yang bisa dilakukan oleh Pemkot Pariaman menyikapi pasca pilot syariah ini, yakni pertama, meneruskan program ini dengan cara mengambil alihnya menjadi program yang dinaungi payung hukum/Perda yang jelas, didukung dana dan personel yang kapabel untuk pemberdayaan ekonomi kecil dan mikro masyarakat Kota Pariaman. Kedua, membentuk badan atau unit organisasi tersendiri, semacam BUMD, sebagai sentral yang bertugas mengoptimalkan kelembagaan KMS di tingkat desa, sebagai satelit dan dalam jangka panjang berfungsi sebagai lembaga bergulir pola syariah tingkat Kota Pariaman. Ketiga, menautkan dan kerjasamakan UPK pola syariah ini dengan lembaga keuangan bank syariah, yang sudah ada di Kota Pariaman. Semisal dengan Bank Nagari Syariah ataupun Bank Syariah Nasional yang ada.

Akhir kalam, konsep besar PNPM Mandiri Perkotaan adalah penanggulangan sebuah penyakit sosial bernama kemiskinan. Terkait dengan itu dapat kami nukilkan sebuah ayat sebagai motivasi. Dalam Qur’an, Surah Ar-Rad: ayat 11, Allah, SWT berfirman, “Innalloha La Yughoyyiru ma biqaumin khatta yughoyyiru ma bi anfusihim wa idzaa arodallohu bi qoumin suu an fala marodda lahu, Wa maa lahummindunihi Mimwalii.” Artinya, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah Menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [Sumbar]

*) Islah Milono bertugas di Kota Pariaman sebagai TA Keuangan Mikro Syariah PNPM KMW Sumbar, s/d 30 April 2015. Ia juga pemilik P3SDM Syariah Jawa Tengah, sebuah lembaga pendamping bisnis/Usaha Kecil Menengah (UKM). Serta mengelola Koperasi Syariah KJKS KENANGA Kedungwuni dan tinggal di Pekalongan Jawa Tengah.
Editor: Nina Razad

Senin, 18 Mei 2015

Korupsi (Sudah) Terjadi Sejak Perencanaan Anggaran

Kebijakan pemerintah Indonesia menempatkan daerah sebagai objek pembangunan dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasan yuridis pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Setelah satu dekade, fakta di lapangan menunjukkan bahwa otonomi daerah belum optimal.
Dalam otonomi daerah, rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset menjadi pekerjaan rumah sejumlah pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi, pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan yang justru mereduksi upaya pertumbuhan perekonomian daerah.
Permasalahan yang kompleks ini diakui oleh Yenny Sucipto, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Ditengah kesibukannya  melakukan kontrol sosial untuk transparansi  penganggaran negara, Yenny menyempatkan diri untuk menerima tim ACCH di ruang kerjanya di kawasan Jakarta Selatan.

Bagaimanakah pola pengelolaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD)?

Saat ini porsi pengelolaan (penyusunan, penggunaan dan pengawasan) daerah lebih banyak didistribusi oleh pusat. Dari 500 lebih kabupaten/kota di Indonesia, 60-an dianggap kaya, selebihnya dapat dikatakan miskin. Ruang fiskal menjadi sempit karena program dan proyek banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Penyesuaian, dan Dana Bagi Hasil. Di sisi lain, masyarakat menginginkan demokratisasi anggaran yang dibangun oleh pemerintah daerah dalam proses perencanaan penganggaran.
Yang menjadi catatan kritis kami, saat ini format evaluasi baru pada level penyerapan anggaran, belum pada format monitoring dan evaluasi kinerja. Dana pusat yang digelontorkan ke daerah melalui DAK maupun Dana Penyesuaianteralokasi secara besar-besaran di infrastruktur, yang menurut beberapa penelitian kami, pos ini paling rawan dikorupsi.
Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sering menemukan ketidakpatuhan, standar pengendalian internal, dan administrasi. Namun rekomendasi yang diberikan (hanya) perbaikan, bukan tindakan tegas.

Bagaimanakah peta korupsi pada tahap penyusunan anggaran daerah?

Korupsi bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan, namun juga dalam proses perencanaan, bahkan pada tahap ini bisa dibilang lebih kental. Dalam proses perencanaan anggaran terdapat 5 aspek yang mewarnai, yaitu top downbottom up, partisipasi, teknokrasi, dan politik.
Proses top down, anggaran yang digelontorkan dari pusat ke daerah sudah diatur (given), sedangkanbottom up, sejauh ini hanya formalitas, karena proses partisipasi dalam perencanaan yang dilakukan bukanlah proses negosiasi, namun hanya sosialisasi dan penyampaian informasi publik. Masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan secara utuh dari awal, dan hanya diberi sosialisasi hasil dari perencanaan yang sudah terbentuk.
Dari skema diatas, saat dilaksanakan forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) aroma egosentris sangat kental, disinilah celah untuk memasukkan keinginan melalui negosiasi, entah programnya sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau tidak.
Sama halnya ketika proses penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang dibuat oleh sekretaris daerah untuk disampaikan kepada kepala daerah, sebagai pedoman penyusunanAPBD. Di sini sering disusupkan program-program “siluman”.
Selain itu, usulan dari bawah (bottom up) melalui mekanisme Musrenbang selalu hanya menjadi formalitas saja. Usulan yang tidak sesuai dengan alokasi anggaran dari pemerintah pusat (top down) tidak diakomodir. Akibatnya proses perencanaan anggaran daerah di Indonesia umumnya hanya bersifat sosialisasi. Inilah yang menyebabkan belum adanya integrasi antara bottom up dan top down.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktor-aktor yang menjadi partisipan bisa di setting sesuai dengan keinginan “orang-orang tertentu” dengan “tujuan tertentu”. Undang-Undang pun tidak menjelaskan secara rinci mengenai partisipan ini, hanya menyebutkan kelompok nelayan, kelompok petani, perempuan, dan sebagainya. Keinginan masyarakat luas untuk ikut mengawasi proses ini pun selalu terbentur pada aksesibilitas informasi dan data.

Peran apa yang dilakukan sebagai kepala daerah dalam pengelolaan anggaran ini?

Kepala daerah menjalankan mata anggaran yang telah dibentuk, dan kepala daerah harus bertanggungjawab penuh dalam proses budgeting ini. Karena itu kepala daerah harus mampu melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan anggaran daerah oleh SKPD.
Namun yang terjadi selama ini, pengelolaan yang dilakukan SKPD ini rentan korupsi, baik melalui mekanisme mark up (biaya) maupun mark down (penerimaan/pendapatan) daerah. Karena itu, Kepala Daerah harus memiliki format laporan monitoring dan evaluasi kinerja, bukan sekedar laporan penyerapan maupun penerimaan anggaran daerah saja.

Modus-modus korupsi apa yang sering dilakukan dalam pelaksanaan APBD?

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh FITRA, kejahatan korupsi APBD paling banyak terjadi pada sektor infrastruktur, karena dari persentase alokasi anggaran, sektor inilah yang paling besar. Modus yang sering digunakan adalah mark upmark down, laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan.
Mark up dilakukan pada pembiayaan atau pengeluaran anggaran dengan menaikkan jumlah pengeluaran yg seharusnya, untuk kepentingan pribadi, sehingga negara dirugikan. Sedangkan modus mark down dilakukan pada pengelolaan pendapatan daerah. Misalnya, potensi pendapatan yang ada sebenarnya besar, namun dalam perencanaan pendapatan dilakukan penurunan nilai potensi yang ada. Dalam laporan realisasi pendapatan daerah pun nilai yang dilaporkan sering tidak sesuai dengan realisasi sebenarnya.Modus laporan fiktif banyak digunakan pada pelaporan dana bantuan sosial atau hibah. Misalnya, pelaksanaan proyeknya satu tahap tapi tanda tangan atau laporannya dilakukan lebih dari itu. Pola seperti ini kadang terlepas dari pengawasan.
Dalam modus penyalahgunaan wewenang, contoh kasus terhangat adalah penyalahgunaan dana Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) oleh Kepala Daerah Situbondo dengan melibatkan beberapa pihak. Hilangnya dana pada rekening Pemerintah Daerah dalam periode tertentu, untuk digunakan oleh pihak yang telah bersepakat dengan Kepala Daerah ini, juga melibatkan pihak bank didalam sindikat untuk mengatur agar mutasi dana tersebut tidak tercatat di dalam cashflow mereka.
Modus lain yang baru-baru ini terendus adalah suntikan dana ke Badan usaha Milik Daerah (BUMD). Prosedur penyuntikan dana ini tidak diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan mengenai jumlah dana investasi, jumlah laba ditahan, dan jumlah deviden, sehingga sering jadi celah kecurangan. Investasi daerah sering tidak didasarkan pada alasan dan pertimbangan yang jelas. Ada sejumlah kasus beberapa BUMD yang disuntik dana oleh pemerintah daerah, namun dalam laporannya sama sekali tidak memberikan kontribusi pendapatan daerah. Beberapa penelitian kami menunjukkan adanya trend kenaikan jumlah investasi ke BUMD menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) daerah tersebut dengan nilai sangat mencolok. Ini pernah terjadi di DKI Jakarta, nilai investasi yang biasanya berkisar pada angka 300 M, namun menjelang Pilkada 1,2 T. Ini dicurigai sangat dekat dengan dimensi politik yang terjadi pada saat itu.

Bagaimana langkah konkrit untuk melakukan pengawasan terhadap modus-modus diatas?

Kunci pokoknya adalah aksesibilitas informasi dan data. Kalau kendala ini belum terpecahkan, masyarakat tidak akan bisa melakukan pengawasan. Walau ada Undang-Undang Keterbukaan Publik, implementasi di lapangan belum menunjukkan sinyal positif.
Di sejumlah daerah, RKA SKPD dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) masih menjadi dokumen rahasia. Misalnya program peningkatan gizi masyarakat. Masyarakat tidak tahu detil anggaran pelaksanaan dan laporan pertanggungjawaban program tersebut. Dalam kasus ini terlihat bahwa porsi pengawasan masyarakat dalam kontrol anggaran masih sangat kurang.

Dengan berlakunya Undang-Undang Desa, bagaimanakah kesiapan pemerintah dalam pengelolaan dana desa?

Kita harus firm mengenai kewenangan masing-masing elemen. Pemerintah pusat punya kewenangan legitimasi peraturan perundang-undangan, pembinaan, monitoring dan evaluasi. Lalu pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk pendampingan desa, pendampingan penyusunan APB Desa, serta monitoring dan evaluasi. Sedangkan Desa berwenang mengelola dana itu sendiri dan membuat pertanggungjawabannya.
Dana desa pada dasarnya adalah dana dari berbagai kementerian dan lembaga yang disatu-pintukan. Salah satu syarat pencairannya adalah adanya APB Desa. Di sisi lain, skill SDM di desa belum mampu melakukan pengelolaan keuangan, apalagi dalam jumlah yang sangat besar, sehingga rentan menimbulkan masalah. Penyusunan APB Desa bisa jadi dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota melalui pendampingan yang dilakukan, sehingga diprediksi sangat rentan terhadap modus laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, danmark up anggaran.

Bagaimanakah pola pengawasan yang harus dibangun dalam pengelolaan dana desa?

Sampai saat ini format laporan monitoring dan evaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban belum terbentuk. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, laporan pertanggungjawaban diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, apakah SDM dari BPK saat ini sudah mampu meng-cover program tersebut? Alternatif solusi adalah mengoptimalkan Inspektorat Daerah, dengan catatan pengawasan yang dilakukan tidak sekedar cashflow atau penyerapan anggaran saja namun juga terhadap kinerja.

Rekomendasi apa yang dapat diberikan untuk memecahkan permasalahan pengelolaan daerah?

Ada beberapa rekomendasi untuk mencegah atau meminimalkan permasalahan pengelolaan keuangan daerah yang ada saat ini, yaitu :
  • Me-review peraturan yang masih tumpang tindih;
  • Dalam pengelolaan dana desa, perlu ada pembagian wewenang di tingkat pusat yang jelas antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Terutama dalam transfer APBD ke desa yang belum diatur jelas, dan perlunya capacity building oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap SDM di daerah;
  • Memperluas ruang fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota;
  • Perlunya kelembagaan partisipasi masyarakat guna mendorong transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sehingga terbangun demokratisasi anggaran sesuai dengan amanah UUD 1945 dan Pancasila;
  • Perlu merumuskan format evaluasi kinerja pengelolaan APBD, bukan sekedar penyerapan, sehingga meminimalisir potensi-potensi penyalahgunaan anggaran;
Apakah ada daerah yang bisa dijadikan best practice dalam pengelolaan anggaran?

DKI Jakarta, dengan konsep e-budgeting yang sudah diberlakukan di beberapa SKPD, sehingga informasi dan datakeuangan daerah bisa diakses sampai dengan kelurahan bahkan masyarakat. Hal ini bagian dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh publik. E-budgeting secara jelas meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan, walaupun belum pada level partisipasi atau pelibatan publik. Begitu juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, dengan memberlakukan pengadaan barang dan jasa melalui satu pintu, selain lebih efektif dan efisien juga mempermudah pengawasan sehingga dapat meminimalisir praktik-praktik korupsi.

Oleh Yenny Sucipto
Sekjend Fitra

Membangun Masyarakat Berbasis Kawasan

Perdagangan bebas ASEAN sudah di depan mata. Perjanjian antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini sedikit banyak akan mempengaruhi perikehidupan bangsa ini. Kebebasan memasarkan dan mengembangkan usaha di berbagai negara tanpa prosedur yang berbelit-belit sudah mungkin dilakukan. Lalu bagaimana halnya dengan kita. Sudah siap kah?

Carut marut perekonomian pada reformasi 1998 belum bisa menciptakan formula yang mensejahterakan masyarakat. Gini ratio yang mencapai dua digit salah satu buktinya. Pertumbuhan ekonomi negara tidak bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab pertumbuhan ekonomi hanya di sokong oleh industry-industri besar dimana pemiliknya jelas para pemodal besar.

Untuk itu, pemerintah berupaya melakukan penguatan-penguatan di masyarakat melalui berbagai program pemberdayaan. Keberhasilan-keberhasilan di tiap program tentu berbeda karena kriteria yang ditetapkan pun berbeda-beda. Namun demikian, secara umum program-program itu memberi warna tersendiri. Masyarakat menjadi sibuk dengan urusan program. Ada sisi positif dan negatif tentunya.

Salah satu peninggalan program pemberdayaan yang tersisa adalah adanya aset sekitar 10,1 triliun di masyarakat. Aset yang dikelola oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) ini pada dasarnya adalah milik masyarakat. Modal ini dipergunakan untuk menguatkan masyarakat di berbagai bidang. Ada beberapa gelintir orang yang tak ikut mengelola justru mengkhawatirkan kalau-kalau dana itu raib. Raib kemana ya.

Sebagian besar pengelola (UPK) sudah fokus dalam mengelola dana tersebut. Bahkan mereka sudah tidak berpengharapan untuk mencari pekerjaan lain. Adalah tindakan konyol bagi mereka tatkala menyalahgunakan posisi mereka. Sebab dari sana lah penghidupan mereka. Artinya mereka akan berusaha semaksimal mungkin menjaga aset yang ada agar tidak raib. Maka bekerjasama lah dengan mereka jika ingin bersama-sama menyelamatkan aset yang ada.

Beberapa kasus yang penyalahgunaan dana oleh oknum UPK bukan berarti hal yang sama akan dilakukan oleh yang lain. Seperti yang aku tulis diatas. Mereka tak akan berbuat bodoh menggadaikan masa depan dengan melakukan tindakan konyol. Demikian pula bagi masyarakat. Aset peninggalan program adalah modal bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas diri. Oleh karenanya, masyarakat pun akan menjaga amanah program tersebut. Aku yakin itu.
Berakhirnya program ternyata menimbulkan persoalan yang tak mudah. Soal kepemilikan aset khususnya dana bergulir, badan hukum bagi UPK, dan pengembangan usaha lain perlu dirumuskan agar implementatif di lapangan. Persoalan ini sebenarnya sudah lama dipertanyakan pengakhirannya jauh sebelum program ini berakhir. Sayangnya hingga diputuskan berakhirnya program, tak jua ada jawaban yang pasti.

Berbagai teori, konsep, dan pemikiran dikemukakan oleh banyak pihak. Muaranya tetap satu, yakni mencari bentuk ideal dari transformasi UPK ke depan. Maka saling berbagi memberi banyak wawasan dalam memperkaya khasanah pilihan menjadi sesuatu yang baik. Tidak mengklaim bahwa apa yang disampaikan menjadi satu-satunya solusi yang terbaik.BUMADes

Saat berlangsung Harlah pertama Gerakan Desa Membangun (GDM) di Desa Melung Kec. Kedungbanteng Kab. Banyumas pada akhir tahun 2012, aku pernah menyampaikan gagasan yang aku beri nama BUMDes yang Dikerjasamakan. Gagasan itu aku sampaikan terkait antisipasi berakhirnya program. Saat itu aku yakin bahwa PNPM adalah program yang bersifat politis. Hanya ada di rezim SBY, dan belum tentu dilanjutkan pada rezim selanjutnya.

Gagasan itu aku sampaikan pada acara seminar dimana Mas Budiman Sudjatmiko, Mas Bayu Setyo Nugroho, Mas Farid Hadi, dan Mas Joko Waluyo sebagai narasumbernya. Aku berpikir andai tidak ada strategi pengakhiran, bukan tidak mungkin aset yang ada menjadi rebutan banyak pihak. Pengelola bisa mengklaim hasil usahanya, para Kepala Desa, Camat, dan atau pemangku kepentingan lain bisa mengakuisisi, dan bahkan masyarakat pun merasa berhak atas aset tersebut. Apalagi praktik-praktik buruk paska program yang dulu-dulu, memang begitu. Raib tak berbekas. Maka BUMDes yang Dikerjasamakan bisa menjadi alternatif solusi.

Waktu itu, gagasan ini kurang diterima oleh Mas Farid Hadi. Dia yang bersama teman-teman dari ACCES mendampingi desa-desa di Indonesia bagian timur mengatakan, jangankan BUMDes yang Dikerjasamakan, istilah BUMDes saja mereka nggak tahu. Tak usah jauh-jauh di sana, di Jawa saja, BUMDes sedikit yang berjalan. Waktu itu aku hanya mendengar saja. Aku tak bisa menanggapi lagi. Tapi aku yakin, ini akan di terima oleh kalangan lain.

Aku berusaha menyusun konsep BUMDes yang Dikerjasamakan secara tertulis. Kemudian aku email kan ke Pak Ibnu Taufan untuk dipelajari. Saat itu yang aku tahu, Pak Ibnu Taufan adalah staf-nya Pak Sujana Royat, selaku Ketua Pokja Pengendali TNP2K. Maka aku berharap bisa di respon oleh orang-orang di Jakarta. Ternyata benar, konsep yang aku kirimkan ditanggapi oleh Pak Ibnu Taufan. Soft copy file-nya pun masih ada. Mau?

Konsep BUMDes yang Dikerjasamakan atau BUMADes sebenarnya bukan hal baru. Aku menganalogikan seperti perusahaan-perusahaan semisal PT. PLN, PT. KAI, Bank Mandiri, dan lain sebagainya. Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN disebutkan bahwa kepemilikan saham terbesar dari semuanya tadi dimiliki oleh negara. Oleh karenanya, disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara. Akan halnya BUMADes, maka kepemilikan aset adalah desa, yang dalam UU Desa dikatakan bahwa yang disebut Desa ialah Pemerintahan dan Masyarakat Desa.

Peningkatan Kapasitas Kelompok

Susah sekali menegaskan siapa pemilik aset sebenarnya. Jika dikatakan masyarakat, perlu subyek yang jelas. Maka mungkin oleh pihak lain yang membisiki Pak Yoga (Suprayoga Hadi), aset akhirnya dibagi rata dengan pencatatan saja. Bahkan ketika diajak berdiskusi di rumah Kades Baseh Kec. Kedungbanteng, Bang Yando bilang, dibagi rata semua penduduk saja. Lebih adil. Aku tak membantah meski tidak sepakat. Tak ingin menghilangkan selera makan beliau. Saat itu kami memang sedang menikmati makan malam.

Mengapa harus dinisbatkan kepada Desa?

Seiring perubahan pola pemberdayaan dari Community Development Driven (CDD) menjadi Village Development Driven (VDD), subyek yang pantas untuk menjadi pemilik adalah Desa. Oleh karenanya, penentuan keputusan pemilik aset dalam Musyawarah Antar Desa (MAD), sejatinya enam orang wakil dimana salah satunya adalah Kepala Desa hanya mempermudah cara. Tidak mungkin semua warga masyarakat satu kecamatan hadir. Artinya Kepala Desa dan tim hanya lah mewakili masyarakat di desanya. Mereka hadir pada acara MAD karena mendapat mandat dari masyarakat melalui mekanisme Musyawarah Desa.

Karena BUMADes dimiliki oleh Desa, maka wajar jika Desa mendapatkan bagi hasil atas surplus yang diusahakan oleh UPK. Berapa besaran surplus dan bagaimana cara pembagiannya, itu diserahkan ke MAD. Bila perlu ditetapkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa, SOP, atau aturan lain.
Misalnya saja, pembagian surplus untuk desa sebesar 30% dari surplus bersih. Maka pembagiannya bisa dilakukan dengan dua cara. Sebanyak 15% dibagi rata karena kepemilikan aset yang sama, dan 15% dibagi berdasarkan kontribusi masyarakat desa terhadap usaha UPK, sehingga besaran penerimaan tidak sama. Itu hanya misal saja. Jika ada formula lain, silakan saja.

Muncul pertanyaan lain, apakah BUMADes itu sebuah badan hukum? Jelas bukan.

Seperti yang ilustrasikan diatas, perusahaan-perusahaan semisal PT. KAI, PT. PLN, Bank Mandiri, adalah BUMN. Maka unit-unit usaha yang ada nantinya itu disebut BUMADes. Sedang pilihan badan hukum, tergantung keputusan MAD.

Jika ingat diskusi bersama Pak Haji Uun Untamiharja di kantor Faskab Majalengka, akhir tahun kemarin, BUMADes ini bisa berbadan hokum atau tidak berbadan hokum. Pilihan berbadan hokum dilakukan jika BUMADes sudah mulai bekerjasama dengan pihak ketiga atau ada peraturan perundang-undangan lain yang mewajibkannya. Jika hanya hubungan antara pengelola dengan pemanfaat, bisa saja tidak berbadan hokum. Meski, berbadan hukum tentu lebih baik.

Pertanyaan lain muncul: apa yang harus dilakukan jika ketentuan yang ada saling bertentangan. Misalnya saja, ketika UU LKM dengan OJK menjadi permasalahan dalam operasional SPP dan atau UEP di UPK. Bagi ku, ini bukan ranah kita. Itu urusan pemerintah pusat minimal setingkat menteri atau Menko untuk memfasilitasi penyelesaiannya. Yang kita lakukan adalah menyusun materi permasalahan tersebut dan menyerahkan kepada mereka agar segera ditindaklanjuti. Berkoordinasi dengan pihak legislatif untuk membantu mengawasi, itu juga baik.

Singkat kata, BUMADes adalah sebutan bagi unit-unit usaha seperti BUMN. BUMADes menjadi salah satu yang dikerjasamakan oleh desa-desa sesuai pasal 92 UU Desa.

PERAN BKAD DALAM BUMADES

Menurut pasal 92 UU Desa pasal 3, Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) merupakan lembaga mandataris MAD untuk melakukan kerjasama antar desa. Konsep BKAD mirip dengan kerjasama kawasan (regional) seperti ASEAN, ZEE, NATO, dan lain sebagainya, yang bergerak di bidang pemberdayaan. Secara tidak langsung BKAD adalah bawahan dari pemangku kebijakan di desa dalam urusan ini. Sebab BKAD dibentuk berdasarkan MAD yang ditegaskan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa, dan diangkat berdasarkan Surat Keputusan Bersama Kepala Desa juga.
Beberapa hal yang dikerjasamakan berdasar pasal 92 UU Desa pasal 1, BKAD bertugas melakukan pengembangan usaha bersama untuk meningkatkan daya saing, kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, bidang keamanan dan ketertiban. Dari penjelasan pasal diatas, maka BUMADes menjadi salah satu yang dikerjasamakan.

Selain tugas-tugas sebagaimana disebutkan pada pasal 92 tersebut, BKAD juga memiliki peran dalam pembangunan kawasan perdesaan sesuai pasal 85 ayat 1 dan 3. Akan tetapi, semua tugas dan peran BKAD hanya bisa dilakukan jika mendapat mandat dari desa. Jika desa tidak memberikan mandat, maka BKAD tidak memiliki kewenangan apa-apa. Tapi jika desa tidak memberikan mandat kepada BKAD dalam hal ini, perlu ditelurusi apa sebabnya. Temukan titik permasalahannya, cari solusinya.

Apa hubungan antara BKAD, BUMADes, dan UPK?

Payung hokum BKAD sudah jelas; merujuk pada pasal 92 UU Desa tersebut. Sedang BUMADes adalah salah satu yang dikerjasamakan oleh desa sesuai amanah pasal 92 ayat 6 yang berbunyi: “Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih”.

Istilah BUMADes ialah wujud dari kalimat: “BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih”.
Sedang UPK yang mengelola UEP dan atau SPP merupakan salah satu BUMADes itu. Nah, jika diibaratkan sebuah perusahaan, maka BKAD bisa disebut Komisaris, sedang UPK sebagai Direksi.

Memang tidak ada sebuah keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Akan tetapi ketika keputusan itu bisa menjadi jalan tengah bagi berbagai kepentingan, sangat bijak jika kita mau menghargainya

Sumber : By kikis on 10 Mei 2015 / http//www.kikis.id