/ateonsoft_tab.js' type='text/javascript'/>
Ceris Institute

Community Empowerment, Research, Implementation and Survey

Minggu, 24 Mei 2015

Pendamping Desa

Mulai April 2015, aparat desa yang telah siap dengan rencana program yang terverifikasi lengkap bisa mencairkan dana untuk membiayai proyek tertentu dengan dana Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 1,4 miliar per desa. Karena administrasi dan manajemen ADD lebih kompleks ketimbang manajemen pembangunan desa rutin selama ini maka pemerintah mendisain agar pengelolaan ADD memerlukan pendampingan.
Tenaga pendamping memiliki tugas membantu aparat desa pada tahapan perencanaan, pengadministrasian, pelaksanaan, pengawasan/pemantauan. Semua tahapan pengelolaan ADD harus tertulis atau terekam secara sistematis, sahih, baik untuk periode tertentu. Satu bagian saja mata rantai itu ‘salah urus’ maka bisa memengaruhi efektivitas pembangunan desa. Bahkan mungkin bisa menggagalkan proses pembangunan desa yang didanai oleh ADD.
Pendamping desa dipersiapkan untuk membantu proses penguatan pembangunan desa menuju ke arah kemandirian berdasar potensi yang dimiliki desa/masyarakat. Pendamping adalah SDM bukan aparat desa dan berada di luar struktur pemerintahan desa. Pendamping desa harus memiliki kualifikasi tertentu untuk melakukan proses pengelolaan ADD.
Pendamping bersama aparat desa dan warga desa sama-sama belajar dan bekerja mengelola ADD. Pendamping hadir tidak untuk menggurui aparat desa dan warga desa, karena pendamping sejajar dengan warga desa, namun dengan tupoksi khusus. Interaksi sesama aparat desa, pendamping dana desa, warga desa harus positip agar melalui ADD desa bisa mengalami perubahan.
Dalam mengelolala ADD, Kemendes menyiapkan pendamping kemasyarakatan dan pendamping infrastruktur pada tiap desa penerima ADD. Pendamping pemberdayaan mempersyaratkan minimal pendidikan DIII hingga S1 berbagai jurusan keilmuan. Pendamping infrastruktur berpendidikan DIII hingga S1 teknik sipil. Kedua jenis tenaga pendamping yang dibutuhkan juga dipersyaratkan harus berpengalaman di bidangnya.
Terus terang, persyaratan pengalaman ini bisa menyulitkan bagi Kemendes sebagai perekrut calon pendamping desa yang handal dan mau mengabdi sebagai pendamping desa. Sarjana banyak, jadi calon pendamping pun banyak apalagi aplikasi pencalonan secara on line. Salah satu kendala mungkin adalah, kualifikasi pengalaman kerja dari para calon. Saat ini banyak tenaga terdidik lulusan perguruan tinggi bekerja di bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi kesarjanaan/pendidikan formal mereka.
Tahun 2015 adalah tahun pertama pendampingan berbagai proyek di desa dengan dana ADD. Tenaga pendamping desa yang direkrut adalah calon pendamping yang memiliki motivasi, semangat untuk memotivasi warga desa. Yakni, calon yang memiliki integritas agar proyek desa bisa berjalan sesuai perencanaan, tidak terjadi penyimpangan. Untuk memperoleh calon seperti itu maka petugas rekrutmen sebaiknya adalah psikolog, serta pegawai negeri dari Kemendes atau jika bisa mendapat tenaga bantuan PNS asal kementerian lain yang bertindak sebagai asesor.
Masalahnya, jumlah tenaga yang dibutuhkan sebagai pendamping desa amat besar, sekitar 73.000 orang. Kemendes harus menghindari intervensi pejabat pememda, kecamatan, aparat desa dalam proses rekrutmen, misalnya menitipkan calon tertentu untuk lulus sebagai pendamping desa. Kemendes harus disiplin, transparan dan obyektif untuk memperoleh calon yang handal termotivasi bekerja sebagai pendamping di desa, dedikatif, punya integritas Jangan sampai unsur nepotisme bercampuraduk dalam proses rekrutmen. Bisa berantakan bahkan gagal tujuan ADD.
Calon yang berhasil dalam tes biasanya wajib mengikuti diklat setidaknya selama dua minggu untuk memperoleh materi teknis terkait proyek/kegiatan dengan dana Add, serta pembinaan mental peserta untuk siap sebagai pendamping desa yang handal. Sekali lagi, pengalaman calon yang tidak terkait pemberdayaan warga desa kurang aplikable untuk menjadi persyaratan dalam menentukan lulus tidaknya calon menjadi pendamping desa.
Peran pendamping dalam berbagai program pemerintah memiliki substansi yang kurang lebih sama. Pendamping desa adalah pembimbing atas kegiatan spesifik tertentu dengan tugas utama membantu masyarakat untuk memutuskan tindakan yang bermanfaat bagi warga desa. Pendamping perlu memberikan banyak informasi buat warga, agar memiliki pengetahuan yang memadai untuk memilih dan menetapkan tindakan tepat menyelesaikan masalah mereka.
Sebagai enabler, dengan kemampuan fasilitasinya, pendamping mendorong masyarakat untuk mengenali potensi, kebutuhan dan masalah di lingkungan mereka. Tugas ini menjadi begitu penting karena hal ini adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada peningkatan pemberdayaan warga desa, di mana warga sendiri adalah narasumber. Ketrampilan fasilitasi dan komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
Pendamping berperan sebagai seorang ahli, di mana dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki melalui pendidikan formal, pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus maka pendamping mampu memberikan masukan teknis atas suatu kegiatan/proyek yang didanai ADD. Aparat desa dan warga desa jangan berpandangan ‘miring’ seakan pendamping mendikte mereka. Masukan pendamping tentu berdasar atas fakta di lapangan, juga hasil berbagai diskusi, perbincangan dengan aparat desa dan warga.
Akhirnya, kehadiran pendamping desa harus dilihat sebagai aliran ‘darah segar’ dalam proses pembangunan desa. Semua keputusan terbaik dalam mewujudkan kegiatan/proyek di desa dengan ADD adalah hasil musyawarah bersama aparat desa, warga dan pendamping. Pendamping hadir dalam kebersamaan dengan aparat desa dan warga agar bisa memandirikan desa bersangkutan. Idealnya, pendamping desa mampu memandirikan warga desa untuk mengambil keputusan yang objektif dan bermanfaat bagi kepentingan desa. ***
Sumber : Suara Karya
Penulis adalah alumnus S3 UNJ, widyaiswara utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar